5 Perkara Sebelum 5 Perkara dalam Islam | Saat pandemi global, betapa sehat, sakit, hidup dan mati bisa berjalan bergantian dan
begitu cepat serta siapa saja bisa terpapar. Oleh karena itu, dibutuhkan penyikapan yang baik dan bijak agar harapan dan optimisme tetap terawat.
Bagi muslim, sehat, sakit, dan mati adalah ujian. Dalam surah al-Mulk ayat 2, disebutkan bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan adalah untuk menguji siapakah di antara hambanya yang paling baik amalnya. Dalam ayat lain, ujian bukan saja sebatas pada hal-hal yang menyusahkan, tapi juga yang menyenangkan (QS. Al-Fajr [89]: 15 & 16).
Orang Beriman Itu Menakjubkan
Hal pertama yang perlu ditanamkan pada diri setiap muslim dalam memandang sehat, sakit, hidup dan mati adalah semua merupakan ujian dari Allah. Untuk menguji hambanya mana yang berhasil dalam perjalanan menuju akhirat.
Ketika muslim menyadari bahwa semua itu adalah ujian, maka dia akan mempergunakan sebaik-baiknya setiap kondisi yang dialaminya.
Dalam suatu hadits disebutkan, “Manfaatkan dengan baik lima sebelum lima: muda sebelum tuamu, sehat sebelum sakitmu, kaya sebelum fakirmu, sempat sebelum sibukmu dan hidup sebelum matimu” (HR. Nasa’i)
Bagi yang masih muda, maka selagi masih kuat tenaganya, digunakan untuk hal-hal bermanfaat sebelum masa tua tiba. Yang masih sehat, bisa diarahkan untuk melakukan berbagai kebajikan sebelum sakit merenggutnya. Yang kaya, bisa berderma sebanyak-banyaknya sebagai kepeduliannya bagi orang yang membutuhkan, sebelum kefakiran menerpanya.
Demikian juga orang-orang yang memiliki kesempatan dan waktu luang pun juga perlu memanfaatkan sebaik-baiknya, sebelum kesempatan itu akan diambil darinya. Yang tak kalah penting, yang masih diberikan kesempatan hidup, maka perlu menggunakan hidupnya untuk menorehkan amal-amal terbaik sebelum kematian menghampirinya.
Bagi yang diuji dengan kesusahan pun (sakit, kehilangan pekerjaan dan lain-lain), tidak ada alasan untuk putus asa dan menjauh dari Allah.
“Kondisi mukmin (amat) mengagumkan. Segala urusannya (kondisinya) baik. Itu tidak dimiliki, melainkan oleh mukmin. Jika ditimpa kesenangan, dia bersyukur, maka itu lebih baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, dia bersabar, dan itu lebih baik baginya” (HR. Muslim).
Coba kita bayangkan bagaimana sikap Khalid bin Walid saat jabatannya dicopot. Lalu 40 anaknya meninggal dalam wabah Tha’un. Dan pada akhirnya Khalid harus meninggal di atas ranjang dalam kondisi sepi dan jauh dari cita-citanya yang ingin gugur di medan jihad (Abbas Aqqad, ‘Abqariyyatu Khalid, 181). Apakah dia putus asa dan meratapi nasibnya? Ternyata tidak. Khalid justru tabah dan
bersabar.
Demikian halnya kisah sahabat bernama Imran bin Hushain. Dalam catatan Khalid Muhammad Khalid dalam buku ar-Rijaal haula ar-Rasul disebutkan bahwa saat beliau mengidap penyakit yang sangat mengganggu aktivitasnya selama 30 tahun.
Imran tidak pernah merasa kecewa dan mengeluh. Bahkan bila dilihat dari kesehariannya, ia tak hentinya beribadah dalam kondisi apa pun. Saat teman-temannya menjenguk untuk menghiburnya, ia berkata:
“Sesungguhnya sesuatu yang aku sukai ialah apa yang disukai Allah.” Ini menunjukkan ia sama sekali tidak sedih, tapi menerima secara ridha.
Kisah lain yang bisa dicatat di sini adalah terkait KH. Hasyim Asy’ari. Pada 1943, KH. Hasyim Asyari ditimpa sakit demam. Waktu itu beliau bersiap berwudhu kemudian pergi ke masjid untukmenunaikan shalat Zuhur.
Ketika salah satu putranya mendapatinya demikian, beliau dianjurkan untuk shalat di rumah saja karena sedang sakit. Lagi pula, dalam agama orang yang sakit dapat keringanan.
Beliau malah menjawab demikian, "Ketahuilah, hai anakku, bahwasanya api neraka Tuhan itu lebih panas daripada demamku ini."
Seusai shalat, beliau kembali ke rumah untuk istirahat. Dalam pembaringan itu, mata beliau terlihat berkaca-kaca. Anaknya pun menanyakan penyebabnya.
Baca juga: Bocah Yatim Usia 7 Tahun Di Jember Menderita Meningitis | Butuh Santunan
Begini Sikap Orang Sholeh Ketika Sakit
Seperti ini jawaban beliau, “Tiada sebab penyakitku aku menangis, dan tidak pula karena takut mati atau berat berpisah dengan sanak keluarga dan anak-istri. Akan tetapi sebab aku merasa belum mempunyai amal saleh sedikit pun juga, dan masih banyak perintah-perintah Tuhan yang belum dapat saya kerjakan. Alangkah malu dan takut saya menghadap Tuhan dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebajikan sedikit juapun. Itulah sebabnya aku menangis.” (Solichin Salam, 1963) .
Perhatikan, rasa sakit yang mengundang tangis haru KH. Hasyim Asy’ari bukanlah karena sakit itu sendiri. Tapi karena takut belum melakukan yang terbaik ketika masih hidup di dunia. Kisah-kisah ini sebagai cerminan menghadapi pandemi atau penyakit.
Apapun keadaannya, jika itu disikapi sebagai ujian Allah, tidak kehilangan rasa syukur dan sabar, serta selalu memanfaatkannya untuk beramal terbaik sebagai bekal untuk akhirat.
Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc, Alumnus Al Azhar Mesir dan kini tinggal di Gresik, Jawa Timur
Foto: pixabay
Baca juga: YDSF Rujuk Mbah Wawan ke RS AL dr Ramelan Surabaya