Perjodohan sudah tidak lagi menjadi arus utama di zaman serba digital. Orang sudah mudah mencari jodoh dengan kriteria yang sesuai keinginannya. Bahkan tagline semacam Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya yang dijodohkan sangat populer.
Hari gini masih dijodohkan, masa tidak bisa mencari jodoh sendiri? Akhirnya perjodohkan serasa tabu.
Orang yang berpacaran seringkali memiliki alasan, “Dia lebih mengerti aku daripada diriku sendiri.”
Tunggu, kalau alasannya demikian, berapa lama dia sudah mengenal Anda? Satu tahun, dua tahun? Lebih tahu dia atau orangtua kita yang sudah dari orok menceboki kita?
Kalau lebih lama orang tua, pastinya orang tua jauh lebih tahu dong. Dan orangtua akan lebih tahu mana yang lebih cocok untuk kita daripada diri kita sendiri.
Yang patut menjadi catatan adalah siapa yang menjodohkan. Kadang ada amanah titipan calon jodoh dari orang yang menjadi panutan.
Jika orang yang terpercaya -seperti orangtua, atau ustadz- maka tidak mungkin memberikan jodoh yang tidak baik. Mereka juga memiliki beban moral dalam menjaga rumah tangga seseorang yang dijodohkan, mereka pasti berusaha sebaik mungkin.
Memang betul bahwa kerelaan calon mempelai wanita jadi pertimbangan. Mereka punya hak untuk menerima atau menolak.
Jika cocok, maka diterima. Jika belum, biasanya orang yang kita amanati untuk mengenalkan calon jodoh itu nantinya juga akan berusaha mencari lagi. (Baca juga: Kisah Guru di Jember | Mengantar Siswa Mandi di Kali)
Sebenarnya yang menjadi perhatian adalah apakah dijodohkan itu menjamin ketidakcocokan? Atau sebaliknya apakah mencari sendiri menjamin kelanggengan?
Toh, tidak jarang yang sudah berkenalan sampai tahunan, baru menikah beberapa bulan saja sudah mengajukan perceraian di pengadilan. Berarti tidak ada jaminan mencari jodoh sendiri menjamin panjangnya usia pernikahan.
Survei yang dicantumkan oleh laksani.com menyatakan bahwa 55 persen pernikahan di dunia terjadi karena dijodohkan, dan 90 persen terjadi di negara India.
Justru di negara yang memiliki kebebasan tinggi untuk memilih pasangan semacam Amerika Serikat justru memiliki angka perceraian sampai 50 persen. Miris ya. Sebaliknya, ternyata angka perceraian dari hasil perjodohan hanya 4 persen.
Dari data yang dihimpun republika.co di Indonesia sendiri angka perceraian semakin tinggi setiap tahun. Di tahun 2009 angka perceraian mencapai 10 persen dari angka pernikahan.
Pada 2013 jumlah pasangan yang menikah di Indonesia mengalami penurunan, tapi anehnya angka perceraiannya justru meningkat menjadi 14,6 persen. Pertanyaannya adalah bukankah sekarang semakin bebas dalam memilih jodoh? (Baca juga: Istri yang Baik Menurut Islam)
Kami di Ngaji Jodoh juga menanamkan bahwa dijodohkan bukanlah hal yang tabu. Bahkan selama ini yang kami pertemukan perlahan sudah saling memahami dan agar bisa sama-sama menerima. Harapannya bisa langgeng hingga ujung usia.
Jangan pernah berpikir bahwa kalau dijodohkan itu kita tidak tahu sama sekali calon pasangan, baru tahu di pelaminan. Di Ngaji Jodoh sendiri setelah bertukar biodata dan setuju, maka akan dipertemukan agar saling tahu.
Dan dipertemukan itu tidak hanya antara kedua calon mempelai, namun juga masing-masing juga akan diajak bertemu sang calon mertuanya.
Itu pun tidak sekali, bisa beberapa kali sampai benar-benar paham. Semua dilakukan dalam bimbingan tim Ngaji Jodoh. Harapannya bisa saling paham, meskipun tanpa proses pacaran yang biasanya lebih banyak dorongan syahwat & dipenuhi nuansa dosa. (Baca juga: Kembali ke Desa Curah Situbondo Mengajar Ngaji)
Dijodohkan tidaklah seburuk yang kita bayangkan. Dalam hubungan perjodohan, pasangan tak berharap tinggi-tinggi pada suami atau istrinya, sekadar asalkan dia menerima aku apa adanya sudah cukup. Inilah salah satu alasan ikhlas dijodohkan.
Namun justru karena hal demikian temuan-temuan ajaib terhadap pasangan menjadi mengesankan dan menyenangkan, “Eh ternyata suamiku bisa masak, aku jadi tambah cinta.” (oleh Ma’mun Affany, penulis novel 29 Juz Harga Wanita & tim pengelola Ngaji Jodoh).
Foto: pixabay