Suatu ketika, Anas bin Malik ra. bercerita bahwa saat berada di masjid bersama Nabi Muhammad saw, tiba-tiba datanglah seorang Arab dusun (badui) yang datang kemudian kencing di masjid. Bayangkan, tempat disucikan umat Islam tiba-tiba ada menistakannya. Tentu saja, pada umumnya, para sahabat geram. Bahkan ada yang mau main tangan.
Menariknya, Rasulullah tak terlihat emosi. “Cukup, cukup!” Kata beliau, "Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkanlah dia hingga selesai."
Setelah orang badui itu selesai, Rasulullah memanggilnya seraya berkata, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak dari kencing dan tidak pula kotoran. Di dalamnya hanya untuk zikrullah, shalat, dan membaca Al-Qur'an" (HR. Bukhari-Muslim). Lalu beliau memerintahkan agar mengguyur bekasnya.
Di riwayat Imam Tirmidzi ada tambahan, “Sesungguhnya kalian (para sahabat) diutus dengan memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesulitan.”
Rupanya, sikap Nabi saw. yang begitu lemah lembut ini, membuat si badui bersimpati. Bahkan ia berdoa demikian, “Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad, dan jangan engkau sayangi seorang pun bersama kami.”
Kisah ini menggambarkan betapa dakwah itu perlu disandingkan dengan hikmah. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl 125).
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebutkan bahwa cara melakukan dakwah dengan hikmah, nasihat baik dan debat dengan cara terbaik amat diperlukan di segala zaman.
Ayat ini, kata Hamka, bisa dijadikan sebagai salah satu pedoman perjuangan dalam menegakkan iman dan Islam di tengah keragaman. Lebih lanjut Hamka menandaskan, kedatangan dakwah Islam itu untuk menarik dan membawa, bukan mengusir dan mengenyahkan.
Kembali ke kisah tadi, Nabi saw. tentu tahu apa yang dilakukan oleh si badui itu salah. Namun, dalam kerangka dakwah yang penuh hikmah, orang diperlakukan sesuai dengan kadar pengetahuan dan budayanya.
Maksudnya, karena orang badui -meski sudah berislam-- tidak mengerti adab dalam masjid, maka dengan kebijakan Nabi orang ini tidak diperlakukan sama dengan orang yang sudah mengerti.
Beliau juga mempertimbangkan sisi bahayanya jika tiba-tiba si badui dicegah sehingga air kencingnya bisa ke berceceran jika ia berlarian karena takut.
Apa Nabi saw. berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Setelah shalat usai, beliau mengingatkan secara lemah lembut bahwa masjid itu untuk ibadah seperti shalat, zikir, membaca Al-Qur`an, majelis taklim dan semacamnya. Masjid harus disucikan dari berbagai najis.
Buah dari penerapan hikmah dan adab dakwah yang dipraktikkan Nabi, akhirnya si badui bersimpati kepada Nabi. Ia memohon kepada Allah agar dirinya dan Nabi Muhammad disayang Allah.
Sementara itu, sahabat yang bersikap keras terhadapnya saat kencing di masjid, membuatnya tak bersimpati bahkan mendoakan negatif kepada mereka. Ini adalah sebuah pembelajaran konkret yang diajarkan Nabi kepada para sahabatnya. (Baca juga: Inspirasi dari Rumah Tahfidz di Puger Yang Berkembang Pesat)
Buya Muhammad Natsir dalam artikelnya berjudul Code dan Ethiek Da'wah, menjelaskan bahwa seorang dai dalam dakwahnya tentu akan berhadapan dengan berbagai paham, tradisi, dan budaya yang sudah berurat berakar di masyarakat. Di sana pasti ada yang menerima maupun menolak dan bahkan menentangnya.
Kondisi objek dakwah yang berbeda ini tentu perlu disikapi dengan hikmah. Kata Natsir, "Masing-masing jenis itu harus dihadapi, masing-masingnya dengan cara yang sepadan dengan tingkat kecerdasan, sepadan dengan alam pikiran dan perasaan serta tabiat masing-masing" (Majalah Kiblat, 20 [XV: 1967]).
Penulis jadi ingat peristiwa yang sedang viral beberapa hari yang lalu. Ada video seorang di wilayah pascaerupsi Gunung Semeru menendang. Maksudnya mungkin amar makruf nahi munkar. Namun kesudahannya bukanlah hikmah, malah jadi kontroversi.
Membuat sesajen dengan maksud percaya kepada kekuatan selain Allah, tentu merusak akidah Islam. Dalam keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-5 di Pekalongan (7 September 1930), ketika ada pertanyaan mengenai perayaan untuk memperingati jin penjaga desa atau sedekah bumi, maka dihukumi haram.
Misalnya hukum tentang sesajen disepakati haram, atau perbuatan itu misalnya diperbuat oleh orang yang bukan muslim. Meski begitu seorang dai tidak akan berhenti dalam tataran hukum sehingga menghilangkan adab dan hikmah dalam berdakwah.
Niat untuk berdakwah dan mencegah kemungkaran, tentu tidak sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. (Baca juga: Sukses dari Pupuk Organik Mulai dari Nol)
Dalam dakwah, sikap benar saja tidak cukup, tapi dibutuhkan adab dan hikmah. Perlu ada pertimbangan yang sematang-matangnya.
Sebagai penutup, nasihat Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam (1984: 112, 113) sangat relevan untuk diperhatikan bagi para dai.
"Pergaulan yang baik adalah suatu dakwah yang berhasil. Rasa cinta membuat orang jadi dekat, rasa benci membuat orang jadi takut. Meskipun agama lain berbeda dengan agama yang kita anut. Dakwah dengan mencela dan merendahkan agama yang lain, atau menyerang akidah orang lain tidaklah akan memberi hasil. Menyerang dengan sendirinya pasti membangkitkan serangan balas." [Oleh Mahmud Budi Setiwan, Lc, alumnus Univ. Al Azhar Mesir, guru Ngaji di Gresik] (Baca juga: Kembali ke Desa Curah Situbondo Mengajar Ngaji)
Foto: pixabay