Mbah Jamilah melihat kalender tertempel di dinding bambu, yang ia lihat hanya bulan dan tahun, angka tanggal sudah tidak bisa terlihat jelas, Agustus 2018. Sembari berdiri bungkuk ia termanggut-manggut. Usianya sudah enam puluh sembilan tahun. Hampir tujuh puluh.
Di sisi dipan kayu tua, tanpa kasur, Mbah Robiah hanya duduk dengan kaki menjulur, memijat-mijat sendiri kakinya. Ia lebih banyak duduk dan berbaring, berjalan sudah sangat sukar dilakukan. Usianya sudah tujuh puluh dua tahun.
Masih ada satu lagi di pinggir pintu, ia duduk melihat keluar. Melihat-lihat apakah ada orang yang datang, apakah ada yang lewat menyapa, atau hanya mampir melihat. Namanya Mbah Sadiah. Usianya paling muda, tapi beda satu tahun dengan Mbah Jamilah, enam puluh delapan.
Bertiga seperti saudara di satu rumah. Rumah gedek. Kalau malam angin bebas masuk. Kalau hujan bocor dimana-mana. Kalau ada angin kencang takut roboh. Beralas tanah. Dengan tiga dipan berjejer seperti rumah pesakitan.
Mereka disatukan karena rindu. Rindu keluarga yang menghilang. Menghilang di alam baka, atau menghilang di dunia nyata. Mereka seperti pergi tanpa pamit, meninggalkan tiga janda lansia ini dalam kesendirian.
Mbah Jamilah dari usia lima puluh tahun ditinggal Robi anaknya. Tampan. Dulu datang terakhir kali membawa istri yang cantik, rupawan sekali. Memberi uang. Tapi ternyata itu pertemuan terakhir kalinya. Selepasnya menghilang. Mbah Jamilah sendirian. Ia sering lihat kalender. Kangen dengan Robi. Berharap dia datang.
Mbah Robiah yang lebih sering di atas ranjang sudah ditinggal suaminya. Meninggal sepuluh tahun yang lalu. Mereka tidak memiliki anak. Mereka ingin menikmati cinta berdua. Tapi ternyata Mas Anton, suaminya pergi lebih dulu. Padahal ia berharap dirinya yang hilang dari dunia agar tidak dirundung sepi. Allah berkehendak lain. Saudaranya sudah meninggal. Keponakannya tidak ada yang sudi merawat.
Mbah Sadiah adalah pemersatu ketiganya. Ia yang memiliki rumah. Awalnya ia sering bermain ke keduanya. Melihat mereka senasib, Mbah Sadiah mengajak berkumpul di satu rumah. Agar punya rumah. Agar punya keluarga.
“Assalamu’alaikum…” ada yang mengucap salam, itu pasti membawa makanan. Tetangga, entah sisi kiri atau sisi kanan.
“Wa’alaikumsalam…” serentak bertiga menjawab. Dengan antusias Mbah Sadiah yang paling muda menjemput. Ia tahu itu makanan, “Suwun ya, Nak…”
Yang memberi kemudian pergi. Langsung pergi begitu saja selepas memberi nasi dengan lauk ikan pindang. Ia tersenyum melihat ikan itu. Dibawanya ke hadapan dua teman. Diletakkan di satu piring, duduk bersama di atas dipan Mbah Robiah. Mengerubut seperti semut.
“Ayo makan…” Mbah Sadiah mengingatkan, bertiga bersama-sama menikmati satu piring nasi dan ikan pindang.
Ini adalah saat-saat paling indah untuk mereka bertiga. Satu suap bisa sepuluh menit mengunyah. Gigi sudah banyak yang tanggal. Yang lama justru cerita masing-masing.
“Robi iku waktu cilik paling guanteng… akeh sing seneng… sregep…” Mbah Jamilah memuji tidak ada habis-habisnya.
“Tapi yo ilang… meninggalkan dirimu…” Mbah Robiah berkelakar. Ia memang pernah di Jakarta. Hidup di kota, “Ganteng-ganteng gak eling wong tuo. Mesti kualat iku...”
Ketiganya terkekeh sembari makan. Kadang ada satu nasi keluar dari mulut. Hanya Mbah Jamilah yang diam.
“Nek mangan pindang aku kelingan Mas Anton. Paling seneng iwak pindang. Iso nambah ping telu,” giliran Mbah Rabiah mengenang.
“Perasaan nek wayahe mangan kabeh Mas Anton seneng. Opo sing ora disenengi Mas Anton?”
Mbah Jamilah ingin membalas.
“Tiada diriku di sampingnya…” rambut putihnya sampai beberapa helai terjatuh.
“Halah… wis tuo… gombalmu wis nang akhirat…” Mbah Jamilah mengingatkan.
Ketiganya kembali tertawa. Mereka memang rindu, rindu akan seseorang yang ada di dekatnya. Mbah Sadiah lebih akut. Ia juga punya rindu. Rindu pada anak gadisnya. Gadis satu-satunya yang dicintai. Ia pernah marahi karena ingin menikah dengan laki-laki. Mbah Sadiah sebagai ibu tidak merestui. Sampai sekarang menghilang entah dimana.
Ketiganya menjadi penawar rindu. Saling bertukar tawa. Saling bertukar rasa. Terkadang ketiganya berharap ajal segera menjemput mereka. Tapi rindu itu seperti menundanya. (Bersambung, cerita ini hanya rekaan semata).
Baca bagian 2: klik sini
Oleh Ma'mun Affany
Penulis novel & admin http://panduanterbaik.id/
Ilustrasi/foto: pixabay.com