Pulanglah Corona!
Aku asli Jember, di satu daerah yang dekat dengan sungai. Rumahku hanya berselang tiga meter dari tepi sungai. Jika malam suara aliran sungai terdengar keras. Mengalahkan suara gonggongan anjing liar dari kejauhan.
Tapi kini diriku di Jakarta. Aku merantau sudah tiga tahun lamanya. Tepatnya di Jakarta Selatan, Pasar Minggu. Aku hadir ke ibu kota dengan kemampuan permak baju dan celana. Sehari-hari aku potong celana dan mengecilkan kemeja. Orang Jakarta butuh itu.
Aku hidup di ruangan enam meter persegi. Siang sore malam di ruangan itu. Tidurku bersama dua mesin jahit dan tumpukan baju. Terkadang tumpukan itu jadi bantal untukku. Biasanya aku tidur tanpa baju, pengap, dan panas. Ya begitulah ibu kota.
Orang memanggilku Tono. Sutono, seperti biasanya orang Jawa. Tono si permak, begitulah kira-kira orang selalu menyebut. Hampir satu jam sekali ada saja orang datang. Ingin memendekkan lengan atau mengecilkan pinggang. Banyak maunya.
Tapi kini keramaian itu perlahan-lahan pergi. Ya, sejak virus yang aku tidak tahu seperti apa datang. Awalnya orang masih ramai, tapi katanya yang meninggal duania sudah banyak. Yang datang semakin berkurang, yang diambil juga jarang.
Penjahit sebelahku sudah pulang kemarin. Katanya, “Ini bisa sampai lebaran Ton. Aku pulang saja.”
Bahkan beberapa pelanggan menyapa aneh sambal jalan kaki, “Ton, gak pulang kamu! Lockdown, lockdown.”
Aku belum bisa jawab, bingung. Tidak tahu mau jawab apa. Kini aku sendirian melamun. Semua permak sudah aku selesaikan. Aku hanya menatap jam dinding. Televisi semuanya bicara Corona-corona. Tidak ada yang lain.
Istri juga sering telepon, “Mas, mulih…” Istri khawatir di rumah. Apalagi lebaran sudah tinggal menghitung bulan. Aku lihat kalender. Lihat catatan utang yang harus ku bayar. Cicilan motor. Ah, berat sekali. Aku mengintip dari jendela. Pusat kota ini sudah tidak seperti dulu lagi. Ini memang harus dirasakan, daripada virus tambah menyebar.
“Mas, permak!”
Aku terbangun dari lamunan, bangkit mendekati pelanggan. Bapak berkacamata bawa celana di tangan tanpa keresek, “Dipotong ya…”
“Saya ukur dulu ya…” Aku permisi, sudah ada meteran di tanganku.
“Mas, jangan terlalu dekat ya. Jaga jarak!”
Aku sedikit mundur. Tidak menyentuh kaki pelanggan.
“Gak takut Corona, Mas?” Pelanggan itu bertanya melirik ke bawah melihatku.
“Tawakkal saja sama Allah. Saya hidup di ruangan ini saja, tidak ke mana-mana.” Aku menatap wajah bapak beruban.
“Oke Mas, yang penting jangan ke mana-mana,” Bapak itu kemudian pergi meninggalkan celananya.
Aku termenung lagi. Ah benar-benar semakin terasa berbeda. Aku melihat beberapa toko juga tutup. Toko sandal punya orang Tasikmalaya, orangnya sudah pulang. Apalagi pekerja serabutan yang kos di belakang dari Tegal, sudah bersih. Semua pulang.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Azan Ashar berkumandang. Ini pertanda harus shalat di pinggir mesin jahit. Masjid di sini sudah waspada, menyerukan shalat di rumah. Sudah ada berita di tempat lain jamaah masjid ada yang positif virus itu, mereka diisolasi. Semua menjaga diri.
Sekarang aku seperti sendiri. Mau pergi juga mulai was-was. Pikiran ingin pulang berkelindan di kepala. Ingin lihat Juli, istriku, ingin lihat Anton, anakku. “Ya Allah…” Aku lihat foto mereka berdua yang berdiri di pinggir mesin jahit.
Kring! Kring! Handphone berdering, itu pasti istriku, “Mas, mulih! Puasa nang omah! Bismillah! Duit iso ketemu. Ndungo bareng!”
Begitulah istri, masih terus memintaku untuk pulang. Tapi aku timang-timang lagi. Aku lihat berita. Positif Corona sudah lebih dari seribu, pusatnya di Jakarta. Di tempat aku berada.
Aku bimbang, apakah pulang, atau tetap di ibu kota ini. Aku rebahan di atas tumpukan baju orang. Aku lihat televisi kecil yang gambarnya selalu bergoyang. Beberapa kota sudah mulai memeriksa kendaraan pemudik. Diperiksa suhu.
Ah… Corona… Juli… Anton… Aku ingin lebaran bersama mereka. Ingin bisa makan bersama mereka. Sepertinya aku harus kembali ke Jember.
Bersambung ke bagian 2: Cerpen Corona, Rindu Tanpa Bertemu (bagian 2 dari 3)
(Cerita ini imajinasi penulis belaka).
Oleh: Ma'mun Affany
Penulis novel & admin http://panduanterbaik.id/
Ilustrasi/foto: pixabay.com