Beberapa baju dikemasi. Anton benar-benar ingin pulang. Jahitan sudah sangat sepi. Tidak ada yang datang, tidak ada juga yang mengambil pakaian. Semua hanya menjadi tumpukan di ruangan kecil. Tas kecilnya sudah dijinjing.
Ia memakai topi, memakai masker buatannya sendiri. Dari batik. Menutup hidung hingga dagunya. Tujuan Anton jelas, ke terminal Kampung Rambutan. Ia tutup pintu tokonya. Gembok hitam mengunci.
“Mau ke mana Lu?” Tetangga perantauan menyapa.
“Mau pulang,” Anton sedikit lemas.
“Ke Jember, mau lebaran di sana sama istri,” Anton terdiam sejenak.
“Eh, gak boleh mudik, paling disuruh balik,” laki-laki berkacamata hitam menasihati.
Anton tahu, di berita, di televisi, di koran-koran semua sudah ia dengar, ia baca. Tapi ia juga lelah sendirian tanpa ada kerjaan. Ia tetap ingin pulang. Ia sudah naik Kopaja. Jantungnya tidak berhenti berdegup-degup.
“Mau ke mana mas?” Selalu ada yang bertanya melihatnya membawa tas ke arah terminal.
“Mau ke Jember,” jawab Anton polos.
“Lebih baik balik lagi saja Mas, semua dilarang,” laki-laki bercelana pendek menyarankan.
Anton tak menjawab, ia seperti lari dari kejaran orang. Rasa khawatir berkelebat. Suasana Jakarta sudah tidak seperti biasanya. Semakin senyap meski belum menyepi. Anton lihat handphonenya, dilihat ada pesan masuk.
“Jangan maksa, Mas. Tadi lihat di TV, banyak bis diminta balik. Mas kalau pulang juga akan dikarantina dulu. Tidak bisa langsung ketemu keluarga…” Anton sudah dekat terminal. Pesan itu tidak dibalas.
Kali ini terminal terlihat banyak penjagaan. Ada polisi, ada tim kesehatan. Anton coba lewati pintu masuk. Diperiksa suhu badan menggunakan alat seperti tembakan, 36,3 Celcius. Ah normal. Pemeriksaan itu Anton lolos.
Tapi masih ada satu pemeriksaan lagi, “Mau ke mana, Mas?”
“Jember…”
“Maaf Anda tidak bisa,” Polisi mencegah.
“Lho kenapa, saya baik-baik saja…”
Kini yang datang tidak hanya satu polisi, tapi dua polisi, “Mas, virus Covid19 kadang tidak ada gejala, tapi bisa jadi membawa virus itu…”
“Saya baik-baik saja. Saya sehat ini…” di pikiran Anton yang ada hanya anak dan istrinya. Anton mulai gelisah.
“Maaf lebih baik Anda Kembali…” polisi mempersilakan, “Bus juga sudah tidak beroprasi.”
Anton garuk-garuk kepala. Mulai banyak orang melihat dirinya. Di Jakarta ia seperti sendirian. Pekerjaan sepi, tidak banyak orang berkeliaran, uang menipis. Sesak sekali rasanya. Hanya ada rindu.
Perawat dengan baju putih, tutup kepala lengkap, sarung tangan mendekat, “Mas, pikirkan baik-baik. Kalaupun bisa pulang, tidak bisa langsung ketemu keluarga. Di sana pasti akan ada karantina untuk orang dari Jakarta.”
Anton kini duduk di kursi.
“Tidak bisa nemui anak,” Perawat itu kembali membujuk, “Kalau Mas sedih, kita juga sedih. Belum pulang ke rumah. Sudah satu bulan lebih kami di rumah sakit. Ini semua yang merasakan Mas. Bukan hanya Mas saja.”
Anton masih diam. Di terminal. Ia lihat yang lain juga sama. Ada yang mengumpat-ngumpat. Indonesia sedang berduka.
###
Juli memeluk handphone di tengah derasnya hujan. Suaranya bergemuruh jelas di atap yang masih menggunakan asbes. Ibu satu anak itu melihat sang anak semata wayang yang terlelap di atas ranjang sendirian. Matanya tertutup rapat, jam sudah menunjuk angka sembilan malam.
Suaminya terlanjur terjebak di Jakarta, kini tidak bisa bisa pulang, tidak boleh takut membawa virus. Tadinya ia sangat berharap suaminya Kembali ke Jember. Bersamanya menikmati Ramadhan, tapi kini harapan itu sudah terkubur dalam. Mudik dilarang!
“Lebaran bapak gak mulih Bu?” Anton tiba-tiba matanya terbangun.
Juli menggeleng. Tidak bisa menjawab. Di sini rindu, di sana rindu.(bersambung)
(Cerita ini imajinasi penulis belaka)
baca juga bagian 1: Cerpen Corona (bagian 1 dari 3)
Oleh: Ma'mun Affany
Penulis novel & admin http://panduanterbaik.id/
Ilustrasi/foto: pixabay.com