Jodoh Itu Berbeda Karakter

06-09-2022

Ada beberapa kejadian menarik yang saya temukan di sebuah daerah. Di sana memang masih sering memegang adat dengan kuat sekali. Bahkan dalam aspek pernikahan dan perjodohan. Salah satunya adalah menghitung kecocokan antara dua insan dengan kalender.

Bahkan hal ini keukeuh dilakukan untuk melihat kecocokan dua insan. Terkadang ada dua orang yang sudah merasa seiman, tapi ternyata tidak cocok ketika melihat hitungan kalender. Tentu cukup berat bagi kedua insan itu untuk terus melanjutkan hubungannya jika terbentur hal seperti ini. 

Di komunitas yang kami bina, Ngaji Jodoh, kejadian ini tidak hanya satu kali dua kali terjadi. Baik pihak laki-laki atau pihak perempuan kadang kebingungan. Terkadang mereka sendiri tidak mengerti hal tersebut, karena yang menerapkan adalah orangtuanya.

Seorang anak akan selamanya menjadi ‘anak’ meskipun telah dewasa. Kami masih sering menemui, bahwa pihak orangtua seolah-olah menjadi produser acara pernikahan. 
Hampir semua urusan ditangani orangtua. Mulai dari menentukan calon pasangan, urusan berembug antarkeluarga, menentukan hari baik & bulan baik, pembiayaan, sewa tempat, kostum, tukang rias, katering, pengisi hiburan hingga mas kawin. (Baca juga: Kembali ke Desa Curah Situbondo Mengajar Ngaji)     


Gagal Berjodoh Karena Beda ‘Hitungan’

 

Orangtua juga sering dominan dalam mencocokkan tanggal pernikahan dalam waktu tertentu, harus hari Rabu atau hari Senin. 

Karena saat ini semua orang bekerja, maka untuk hari hajatan kadang mengalah. Karena kalau dipaksa hari Senin tidak ada yang hadir, dipaksa hari Rabu juga tidak ada yang hadir.

Fenomena lain yang cukup memprihatinkan adalah tidak selalu yang dijodohkan berdasarkan kalender untuk mencocokkan karakter itu kemudian hubungannya jadi langgeng. Bahkan tukang menghitung kalender ini, perkawinan anaknya justru berpisah di tengah jalan.

Ini tentu cobaan berat bagi sejoli itu. Karena berarti yang dihitung dengan susah payah tidak bisa menetapkan masa depan dengan pasti. Tidak menjamin langgeng. Artinya jika beda hitungan lantas keduanya tidak boleh hidup bersama. Tentu ini pemahaman yang tidak logis. 

Jodoh memang bukan persoalan kalender. Jodoh bahkan bukan persoalan karakter yang harus sama. Karena jenis kelaminnya sudah berbeda, laki-laki dan perempuan. Yang satu keras sebagai pemimpin, yang satu lembut sebagai pendamping.  Tentu karakter berbeda.

Saya cerita karakter saya dan istri saja. Saya sukanya menulis. Dulu berharap istri saya juga sama suka menulis seperti saya. 
Tapi ternyata istri saya lebih suka membaca. Akhirnya saya berpikir, itulah jodoh. Kalau dua-duanya di antara kami suka menulis, siapa yang membaca?

Saya suka berbicara, tapi kalau istri saya sukanya lebih banyak mendengar. Kalau kami berdua sama-sama suka bicara maka siapa yang mau mendengar? Di sinilah saya sadar jodoh bukanlah persoalan persamaan. Apalagi dicocokkan melalui hitungan.

Bahkan jodoh bisa jadi bukan yang sama-sama santun. Tidak ada yang suka marah. Tapi jodoh ketika yang satu marah, maka yang lain menenangkan. Inilah yang menjadikan suasana menjadi indah. (Baca juga: Inspirasi dari Rumah Tahfidz di Puger Yang Berkembang Pesat)

Ini Rahasianya Agar Direkatkan 

 

Pengalaman kami di Ngaji Jodoh, dua insan yang bersama hanya modalnya doa kepada Allah minta dijodohkan. Dalam arti ketika dua insan merasa sudah pas melihat biodata, dilanjutkan dengan saling silaturahim dua keluarga. 


Bagaimana dengan perbedaan karakter atau beda latar belakang atau lainnya? Sisa persoalan lainnya, didoakan saja kepada Allah. Karena pada hakikatnya kita tidak pernah tahu sisa persoalan lainnya. 

Kadang ibu saya mengatakan, “Sebelum menikah kotoran terlihat indah, tapi setelah pernikahan keindahan terlihat seperti kotoran”.

Nah, untuk melihat sewajarnya, menutup kotoran dengan keindahan dan tidak melebihkan keindahan secara berlebihan. Maka pasrahkanlah sisanya dalam doa di setiap malam untuk lahirkan cinta dalam rumah tangga. (Oleh Ma’mun Afany, penulis novel Gadis 12 Rakaat & Fasilitator di Ngaji Jodoh)

Foto: pixabay