Kaya miskin adalah ujian | Ada kisah imajinatif tentang tiga jenis angin yang adu kekuatan. Angin topan, angin puting beliung dan angin sepoi-sepoi. Ketiga angin ini bersaing menjatuhkan seekor monyet di atas dahan.
Dengan kecepatan tinggi, angin topan menerjang. Makin kencang, makin erat si monyet berpegangan. Tak berhasil.
Giliran angin puting beliung. Pusaran makin besar, makin besar pula kekuatannya. Lagi-lagi si monyet makin kuat berpegangan. Gagal juga.
Kedua angin itu sempat meremehkan angin sepoi-sepoi. “Mana mungkin kamu bisa menjatuhkannya? Dengan kekuatan kami saja, dia tak juga jatuh, apalagi kamu yang pelan embusannya.”
Angin sepoi-sepoi pun beraksi. Embusan semilir justru membuat monyet itu mengantuk. Lantas tangannya tak lagi berpegangan. Dan monyet itu pun terjatuh.
Kaya miskin adalah ujian, Kekayaan Bukanlah Wujud Kemuliaan
Betapa banyak orang yang gagal dengan ujian kenikmatan seperti kisah di atas. “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)…” (QS. Al-Anbiyaa 35). Kebaikan dan keburukan ibarat dua mata uang yang terpisahkan. Susah-senang datang silih berganti.
“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinaku.’ Sekali-kali tidak!...” (QS. Al Fajr 15-16).
Kekayaan itu juga ujian dan bukan tanda kemuliaan dari Tuhan. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Demi Allah, dunia ini lebih hina di sisi Allah dibanding bangkai ini (kambing yang cacat) di mata kalian” (HR. Muslim).
Betapa banyak orang yang sebelumnya fakir lalu Allah memberinya sejumlah harta yang banyak lantas dia lalai. Qarun misalnya. Dia masih kerabat Nabi Musa.
Sebelum jadi saudagar, dulunya dia rajin membaca kitabullah. Sayangnya, kekayaannya malah membuatnya sombong dan lupa diri. Kaya miskin adalah ujian. Itulah yang dialami Qarun. Dia gagal melewati ujian itu.
“Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi kekayaan ini karena ilmu yang ada padaku.’ Tidakkah dia tahu bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta…” (QS. Al Qashash 78).
Harta itu Modal Perjuangan Bukan Hanya Kesenangan
Di sisi lain, kita bisa mengambil teladan baik dari Abdurahman bin Auf. Muhajirin senior ini lihai berbisnis. Setiap usaha yang digelutinya berkembang pesat. Ia ibarat Raja Midas dalam mitologi Yunani yang memegang benda kemudian bisa diubah menjadi emas.
Rahasia sukses Abdurrahman bin Auf dalam berdagang adalah menghindari yang haram dan syubhat (tidak jelas kehalalannya).
Ia juga banyak bersedekah. Suatu ketika Rasul saw berkata padanya. ”Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya engkau adalah kelompok orang-orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu berilah pinjaman kepada Allah niscaya Allah lepaskan kedua kakimu."
Abdurrahman bin Auf khawatir jika hartanya makin memperlambat langkahnya ke surga. Kaya miskin adalah ujian. Itulah yang dirasakan pula oleh Abdurrahman bin Auf, sahabat nabi. Dan dia lulus dengan ujian kaya.
Dari situlah, ia pernah bersedekah 40.000 dinar kepada Bani Zuhrah (keluarga dari Siti Aminah, ibu nabi), istri-istri nabi, dan warga miskin.
Dia juga pernah menyerahkan 500 ekor kuda untuk jihad. Dia juga menyumbangkan 1.500 unta. Sepeninggal Nabi, Abdurrahman inilah yang menanggung seluruh kebutuhan istri-istri nabi.
Sebelum wafat, ia berwasiat 500 ribu dinar. Uang ini untuk perjuangan di jalan Allah dan 400 dinar bagi tiap veteran Badar dan keluarga syuhada Badar.
Inilah contoh betapa harta itu bermanfaat di tangan orang shalih. Namun harta juga jadi sumber malapetaka jika berada di tangan orang fasik seperti Qarun.
Baca juga: Dzikir Agar Masalah Cepat Selesai
Si Miskin Yang Akrab dengan Agama
Bagaimana dengan kemiskinan? Kita bisa mencontoh Abu Hurairah. Dulunya ia anak yatim yang berasal dari Bani Daus, agak jauh dari Mekkah.
Abu Hurairah adalah salah satu ahlush shuffah. Ini sebutan bagi para sahabat yang tidak punya tempat tinggal di Madinah atau tidak punya kerabat atau tidak punya harta atau juga perantau yang masuk Islam yang berasal dari negeri yang jauh.
Mereka tidur, makan dan belajar di Masjid Nabawi. Rasul saw tidak pernah mempermasalahkan keberadaan mereka. Bahkan Nabi sangat perhatian.
Sehari-hari, mereka bergaul dengan Nabi Muhammad dan banyak belajar. Di situlah, Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi (5.374 hadits). Keseharian mereka diisi dengan menimba ilmu.
Ahlus shufah ini hanya memanfaatkan makanan yang ada di masjid atau pemberian nabi. Kadang ada beberapa sahabat yang mengundang makan. Jika tak, mereka pun berpuasa.
Masjid Nabawi kala itu seperti posko. Warga Madinah sering menggantungkan beberapa tangkai kurma di tiang-tiang masjid. Siapa saja boleh menikmatinya.
Baca juga: Cerita Hilangnya Kekayaan dalam Sekejap
Dekat Dengan Orang Shalih
Rasul saw. juga sering menerima hadiah makanan minuman. Maka pasti beliau membaginya bersama Ahlus Shuffah. Abu Hurairah pernah kelaparan. Sampai-sampai ia mengganjal perutnya dengan batu.
Hari itu tak ada sahabat yang mengundangnya makan. Syukur, Nabi mengundangnya. Di rumah Nabi ada semangkuk susu hadiah. Abu Hurairah berharap Nabi membagi susu itu dengannya.
Tapi Nabi malah menyuruhnya untuk mengundang semua Ahlus shuffah. Abu Hurairah berkata sendiri, “Sesungguhnya aku enggan karena aku berharap susu itu untukku.” Namun ia tetap menaati perintah nabi.
Berkumpullah 40 atau 70 orang. Lalu Nabi berdoa sambil memegang mangkuk itu lalu mempergilirkannya. Mukjizat, nyatanya susu itu tak habis-habis.
Nabi dan Abu Hurairah paling akhir. Nabi menyuruhnya minum dulu dan terus menyuruhnya, “Demi Allah yang mengutusmu dengan agama yang benar, saya tak sanggup lagi. Saya sudah kenyang.” Nabi pun tersenyum lantas meminumnya.
Baca juga: Amalan Agar Terhindar Dari Hutang
Foto: pixabay