Meskipun zaman sudah serba digital, namun masih saja ada saudara kita yang tidak tersentuh kemajuan. Mereka masih menjalani hidup dengan serba tradisional dan mungkin saja serba kekurangan.
Salah satunya, Mbah Satrim, warga Desa Curahpoh, Kecamatan Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur. Kakek berusia 63 tahun itu masih menjalani kehidupan dengan sangat sederhana.
Setiap hari Mbah Satrim berjalan kaki menyusuri sawah dan hutan untuk menuju pegunungan Argopuro. Sehari-hari bapak sepuh ini masih saja telaten mencari kayu bakar di gunung dan di hutan di sekitar Curahdami. (Baca juga: Kisah Sukses Tidak Harus Jadi PNS | Pemilik 40 Outlet Roti Bakar Situbondo)
Kadang dia menyusuri hutan dan gunung sampai berkilometer jaraknya. Naik turun bukit dan pegunungan Argopuro hanya dengan berjalan kaki. Hanya untuk mengumpulkan kayu bakar dan memikulnya ke kampungnya.
Mbah Satrim biasanya berangkat pukul 6 pagi. Baru turun gunung sekitar pukul 12 siang. Waktu tempuh dari rumah ke gunung memakan waktu sekitar 1 sampai 2 jam. Mbah Satrim mengambil dahan kayu yang roboh atau mengumpulkan ranting-ranting yang berserakan di hutan.
Sebelum turun, biasanya bapak tiga anak beristirahat dan menikmati bekal makan yang ia bawa. Setelah dirasa cukup, Mbah Satrim mengikat kayu-kayu itu dengan model kerucut agar mudah dipikul.
Lelah dan letih mengiringi perjalanan pulang. Karena kayu yang dipikul beratnya bisa mencapai 30 atau 40 kg. Meski begitu, Mbah Satrim tidak pernah mengeluh.
Kayu-kayu itu kemudian dijadikan potongan kecil untuk dijual. Mbah Satrim biasa berjualan kayu bakar keliling ke daerah kota Bondowoso. Dengan berjalan kaki menempuh jarak dari rumah ke kota sekitar 3 sampai 4 km.
Ia biasa berangkat dari rumah selepas shalat Zuhur. Setapak demi setapak ia menjajakan kayu bakar. Harga kayu bakar dijual hanya Rp 25 ribu dalam satuan ikatan. Jika kita melihat perjuangannya mencari kayu di hutan kemudian berjalan kaki puluhan kilometer tentu harga tersebut memanglah tak sebanding.
Namun walaupun demikian beliau tak pernah mengeluh atas hasil ia dapatkan. Pernah suatu waktu, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Namun kayu bakar dijajakan belum ada yang membelinya. Akhirnya ia harus pulang tanpa uang.
Mbah Satrim terus berjalan menyusuri jalan menjajakan kayu bakarnya itu. Jika belum ada yang membeli beliau terus berjalan. Beberapa kali, ada saja orang yang menghampirinya lalu menawarkan makanan, baju, ataupun sembako kepadanya.
Mbah Satrim berasal dari Desa Penambangan, timur Desa Curahpoh. Dari hasil pernikahan Mbah Satrim dan Mbah Satria, mereka dikaruniai empat orang anak. Namun satu telah meninggal dunia. Dua anak tertua sudah menikah dan si bungsu masih bersekolah SMK PGRI Bondowoso.
Mbah satrim dan keluarga tinggal di Desa Curahpoh. Ia menempati rumah milik istrinya (rumah warisan dari ibu mbah satria). Rumah sederhana berukuran 5 x 10 m. Lantainya sebagian disemen dan sebagian lagi masih tanah. Dinding rumahnya sebagian da nada yang uang berupa anyaman bambu. (Baca juga: Pemuda Bondowoso Merawat Ayah Tunanetra)
Sejak muda, Mbah Satrim hanya bekerja seperti ini. Tidak ada pekerjaan lainnya. Belakangan ini Mbah Satrim masih tetap berjualan kayu bakar. Namun tak sering naik turun gunung lagi. Karena faktor usia. Tenaganya sudah melemah.
Kini ia lebih sering menjualkan kayu bakar yang telah dikumpulkan saudara iparnya. Dia tinggal menjualnya. Kadang kala ia menjualnya di kota dengan sepeda pancal. Walaupun terkadang masih dipikulnya. (naskah saiful bahri | foto gian).
###
Jika Anda tergerak untuk meringankan beban Mbah Satrim, silakan salurkan donasi terbaik Anda melalui rekening BSI nomor 703.996.999.2 atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah.
Silakan hubungi petugas kami di nomor resmi YDSF: 0811-350-3151 (WhatsApp/SMS) untuk info lebih lengkapnya.