Dalam mencari pendamping hidup, kita berusaha mendapatkan yang terbaik. Diseleksi dalam segala aspek. Bertanya teman, mendekati ustadz, bahkan kalau perlu minta orangtua untuk memilihkan.
Tapi tidak ada yang bisa memastikan dalam jodoh bahwa semua itu akan menjamin kelancaran. Kita harus siap dengan skenario terburuk.
Seperti yang kami hadapi ketika mempertemukan dua insan.
Sebut saja namanya Ahmad dan Nisa (bukan nama sebenarnya). Setelah proses tukar biodata, semua tampak lancar. Nisa berkehendak untuk dipersunting Ahmad. Begitu juga Ahmad yang sudah merasa cocok dengan Nisa. (Baca juga: Inspirasi dari Rumah Tahfidz di Puger Yang Berkembang Pesat)
Bagi kami di Ngaji Jodoh, ini adalah rezeki besar ketika ada laki-laki yang menjatuhkan hati pada perempuan, dan pihak perempuan sudah menerimanya. Bahkan ketika dipertemukan, keduanya tidak mendapatkan rintangan berarti.
Saat itulah benih-benih harapan berumah tangga muncul. Bisa dikatakan cinta yang belum pernah dirasakan mulai tertanam. Padahal keduanya baru bertemu empat kali. Dua kali dalam sesi taaruf tempat moderator. Dan dua kali di rumah masing-masing secara bergantian.
Niat tulus keduanya yang mengundang turunnya cinta dari Allah. Bukan kita yang menentukan kapan merasai cinta. Karena sesungguhnya hati manusia itu berada di dalam kuasa Allah. Maka memohon cinta itu kepada Allah semata. Tugas kita adalah memupuk cinta itu dalam koridor syariat.
Proses berikutnya adalah meminang dan musyawarah keluarga. Tapi saat harapan sedang memuncak, Allah memberi ujian kepada Ahmad dan Nisa.
Kami mendapat kabar, ayah Ahmad ditahan oleh polisi karena suatu kasus pidana. Tentu Ahmad dan Nisa sangat goncang. Karena kejadian ini tiba-tiba. Bahkan Ahmad juga tidak menduganya.
Terlebih Nisa. Ia begitu lemas sampai berulang kali berkomunikasi ke kami. “Pak, bagaimana nasib saya? Apa dilanjut atau bagaimana?” Pertanyaan demikian tidak hanya datang sekali. Kami juga memaklumi kegelisahan tersebut. Nisa bertanya berkali-kali.
Memang dalam jodoh, perkara keluarga juga penting. Dua keluarga akan digabung. Dalam kasus Ahmd dan Nisa ini, sejujurnya kami –sebagai moderator- juga gelisah.
“Nisa, yang terjadi tidak bisa kita tolak. Ini terjadi pada Ayah Ahmad, bukan Ahmad itu sendiri. Jadi sabar, dukunglah dan berpikirlah positif,” begitu nasihat kami kepada Nisa.
Tidak berhenti, Ahmad gantian menghubungi kami, “Bagaimana Pak, apa yang harus saya lakukan? Kami sekeluarga tidak menyangka demikian.”
Kami berpikir lebih jernih, “Pertama tenang terlebih dahulu, jangan gelisah. Ini semua sudah ketentuan Allah. Lebih baik silaturahim ke Ayah Nisa. Ceritakan apa yang sudah terjadi dengan utuh. Dan terimalah apa yang diputuska oleh ayahnya.”
Kami sebagai penengah memberitahu kepada Nisa akan kabar bahwa Ahmad hendak untuk menjelaskan kepada sang ayah. Kami tidak menemani. Sengaja demikian. Kami ingin Ahmad bisa menghadapi persoalan ini dengan dewasa. Kami pun berdebar ketika proses itu berjalan.
Ahmad siap menghadap Ayah Nisa. Beliau adalah dosen sekaligus aktivis kemanusiaan. Sebelumnya, Ahmad sudah kami berikan pesan untuk bersiap dengan hal baik atau sebaliknya. Skenario terburuk.
Ketika keduanya bertemu, Ahmad jelaskan panjang lebar. Ayah Nisa mendengar dengan tekun, tiba-tiba menjawab, “Nak, saya akan menyerahkan anak saya kepada laki-laki yang bertanggung jawab. Saya tak akan menyerahkan anak perempuan saya kepada sosok yang tidak bertanggung jawab. Buktikan jika kamu memang seorang yang penuh tanggung jawab. Selesaikan dulu masalah ayahmu. Kembalilah ke sini jika semuanya sudah jelas.”
Memang ayah Ahmad belum divonis majelis hakim. Masih proses pelimpahan dari kepolisian ke kejaksaan lalu ke pengadilan negeri. (Baca juga: Kembali ke Desa Curah Situbondo Mengajar Ngaji)
Ketika palu sudah diketuk, hukuman tiga bulan penjara diberikan. Selama proses itu, Ahmad berkomunikasi terus dengan kami dan juga menjelaskannya ke calon mertuanya itu.
Setelah vonisnya jelas, maka semua menanti masa tahanan habis dengan tenang sambil berharap proses perjodohan ini berlanjut hingga ke akad nikah.
Justru skenario ini memberikan tambahan energi cinta dari Nisa untuk Ahmad. Begitu juga orangtua Nisa mengetahui jika anak yang akan mendapatkan amanat menjaga buah hatinya ternyata laki-laki yang bertanggung jawab. Allah memberikan skenario terbaik. (Oleh Ma’mun Afany | Pengurus Ngaji Jodoh, Penulis Novel Gadis 12 Rakaat & penulis cerbung: Wakaf Cinta untuk Farida)
Foto: pixabay