“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu (berlakunya) sunnah-sunnah (ketetapan) Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (QS. Ali Imran 137).
Allah memerintahkan manusia untuk menjelajahi bumi. Bukan hanya untuk mencari pencaharian ataupun sekadar pelesir. Namun yang terpenting mengambil pelajaran dari kaum-kaum terdahulu. Mana yang diberkahi dan mana yang dikutuk.
Tersebutlah Negeri Saba di Yaman. Negeri ini dulunya sangatlah subur.
“Sungguh, bagi kaum Saba ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun’” (QS. Saba 15).
Saking suburnya, menurut sebagian riwayat, seandainya seorang pejalan kaki menaruh keranjang di kepalanya, niscaya sambil berjalan keranjang itu akan penuh dengan bermacam buah yang jatuh ke dalamnya.
Pada masa itu, sistem pertanian sudah tertata bagus dan terbantu Bendungan Ma’rib yang berfungsi sangat baik. Menurut catatan sejarah, bendungan Ma’rib ini panjangnya 620 m, lebar 60 m, dan tinggi 16 m. (Baca juga: Sukses dari Pupuk Organik Mulai dari Nol)
Saba mencapai puncak kesejahteraan. Kawasan itu ditumbuhi pohon buah-buahan, pohon gaharu, dan tumbuhan beraroma untuk penyedap masakan atau pedupaan dalam upacara kenegaraan atau keagamaan.
Yang paling penting dari semua itu adalah cendana. Sebab merupakan komoditas unggulan dalam perdagangan kuno (pinisi.co.id, 10/3/2021).
Kekayaan itu juga ujian sebagaimana kemiskinan. Tabiat manusia yang gampang bosan menjadikan warga Saba jadi ingkar dan mempermainkan Tuhan.
“Maka mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami,’ dan (berarti mereka) menzalimi diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.”
“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur” (QS. Saba 19).
Mereka merasa bosan dengan perjalanan yang singkat. Mereka maunya asyik-asyik saja makan sepuasnya dalam perjalanan. Mereka mengolok-olok nikmat Allah.
Di masa kini pun tabiat seperti ini terulang. Dilimpahi kesuburan bukannya malah makin taat, namun justru mempermainkan agama dan melecehkan nasihat alim ulama.
Misalnya membahas masalah banjir di perkotaan dengan hanya fokus pada masalah teknis saja. Atau dengan menyalahkan cuaca saja atau curah hujan. Kita lupa bahwa tabiat dan sikap manusia acapkali jadi penyebab datangnya bencana.
Padahal kerusakan moral itu lebih destruktif daripada kerusakan bangunan. Bisa jadi bencana-bencana ini karena ulah manusia sendiri.
Sejatinya menyadari kekhilafan dan meminta ampunan Tuhan itu didahulukan sebelum kerja teknis. Iman didahulukan dibandingkan infrastruktur.
Begitulah pendiri NKRI mewariskan nasihat: Bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya. Perbaikilah jiwanya dulu dan sambil jalan menyempurnakan badan/bangunan.
Negeri Saba jadi pelajaran penting. Allah pun menimpakan kepahitan hidup akibat sikap buruknya.
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr” (QS. Saba 16).
“Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir” (QS. Saba 17)
Banyak pendapat yang menyebutkan sebab banjir karena runtuhnya bendungan Saad Ma’rib. Pendapat lain mengatakan karena perang, ada pula karena bendungan itu runtuh karena siaga bencana yang tidak jalan (semacam mismanajemen).
Sebagian lagi mengatakan karena saat itu Negeri Saba telah berubah menjadi negeri sekuler, hedonis, riset berkurang, teknologi hidrolik stagnan bahkan diabaikan, mislokasi anggaran, anggaran perawatan bendungan dikurangi, korup, penduduk ‘berpaling’ dan tidak bersyukur.
Boleh jadi semua pendapat di atas benar adanya. Yang jelas setelah bendungan besar itu runtuh maka terjadi run off, kehabisan air, kering dan miskin.
Mari kita bandingkan dengan Mekkah. Tanah Mekkah sangatlah tandus, jauh berbeda dengan Saba. Namun, doa yang tulus dan amal yang ikhlas mengundang keberkahan dari Tuhan. (Baca juga: Inspirasi dari Rumah Tahfidz di Puger Yang Berkembang Pesat)
Mekkah yang gersang itu menjadi berkah tersebab keshalihan Ibrahim dan Ismail. Doa tulus Ibeahim dikabulkan ribuan tahun sepeninggalnya.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah (Mekkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian’” (QS. Al Baqarah 126).
Dan doa itu diijabah Allah dengan hadirnya Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian. Sejak itu, Mekkah selalu ramai dikunjungi dan diziarahi. Beragam jenis buah tersedia. Anda bisa membuktikannya atau bertanya kepada jamaah haji/umroh.
Di sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa kesuburan tidak otomatis menjadikan suatu negeri tenteram sentosa. Hanya keimanan yang benar dan ketakwaanlah yang mengundang berkah ilahi.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al A’raf 96).