Di antara sumber kebahagiaan manusia adalah kecintaannya pada anak. Siapapun yang hatinya masih jernih pasti mengharapkan lahirnya keturunan yang membanggakannya.
Rabbana hab lana min azwajina wa zurriyyatina qurrata a'yuniw waj'aln? lil-muttaqina imama "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami (hadirnya) pasangan dan keturunan (bagi) kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan 74).
Dengan interaksi dan pembiasaan yang baik akan membentuk anak-anak yang menyejukkan. Interaksi siapa yang paling berpengaruh pada jiwa anak? Mari kita tengok dari kisah terbaik di dalam Al-Qur’an.
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu” (QS. Yusuf 3).
Ya, kisah si tampan Yusuf disebut sebagai kisah terbaik. Kita cuplik salah satu hikmahnya di sini. Singkat cerita, istri bangsawan Mesir terpesona dengan ketampanan Yusuf sehingga dia berhasrat kepadanya. Suatu hari dalam ruangan, Yusuf dirayu, “Marilah ke sini.”
Yusuf menolaknya, ”Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan. Sesungguhnya tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya tidaklah beruntung orang-orang yang zalim.”
“Sesungguhnya wanita itu bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (serupa) dengan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba-Ku yang terpilih” (QS. Yusuf 24).
Mengenai tanda dari Allah yang dilihat oleh Yusuf itu ditafsirkan beberapa ulama. Ibnu Abbas, Mujahid, al Hasas, Qatadah dan beberapa lainnya, yang mengulas bahwa Yusuf melihat wajah ayahnya seakan-akan memandangnya sambil menggigit jari.
Sedangkan Ibnu Jabir meriwayatkan dari Al Quradhi bahwa Yusuf tatkala melihat ke atas pada saat itu melihat tulisan, “Jangan kamu mendekati zina, karena itu adalah perbuatan yang keji.”
Ada pendapat lain bahwa tiba-tiba ia diseru, “Wahai anak Yakub, apakah kamu akan mengerjakan perbuatan orang-orang bodoh, padahal kamu tercatat sebagai salah satu Nabi?”
Meskipun pendapat-pendapat tersebut tidak didukung dalil yang kuat, tetapi hendaklah dipahami bahwa bayangan wajah Yakub (sang ayah) dan seruan Wahai Bani Yakub sangat kuat pengaruhnya bagi Yusuf, sehingga mampu menolak ajakan keji. (Baca juga:
Sungguh wajah ayah istimewa itu menjadi rambu penyelamat dari jerat syahwat. Sekali lagi, inilah istimewanya wajah ayah shalih itu.
“Demikianlah Allah memperlihatkan kepadanya (Yusuf) suatu tanda yang memalingkannya dari perbuatan keji dan kemungkaran, karena dia adalah termasuk hamba-Ku yang mukhlis (terpilih/ikhlas)” (QS. Yusuf 24).
Ketika sakaratul maut, Yakub menguji keimanan anak-anaknya. “Siapa yang kalian sembah sepeninggalku?” Anak-anaknya menjawab, “Kami menyembah Tuhanmu, dan Tuhan bapak-bapakmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, Tuhan yang esa” (QS. Al Baqarah 133).
Jika wajah ayah yang shalih mampu menggetarkan sanubari, apatah lagi nasihat ayah? Apatah lagi amal shalih bapak? Keteladan ayah yang tulus dari hati membekas di hati anak. (baca juga: Niat Memajukan Kampung Muncar Banyuwangi Hampir Terkabul)
Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami defisit keteladanan ayah. Para ayah jarang berbicara dari hati ke hati dengan anak-anaknya. Menurut Elly Risman, konselor keluarga, Indonesia saat ini nyaris menjadi fatherless country.
Ayah jarang di rumah. Ayah sekadar mesin ATM, hanya tempat meminta uang. Bisa jadi, raga ayah di rumah tapi perhatiannya hanya ke ponsel. Meski orangnya di rumah, konsentrasi ayah berkelana di luar.
Belum lagi jika ayah bekerja di luar kota dan pulang hanya sepekan dua hari. Atau bahkan bekerja di luar negeri yang belum tentu setahun sekali pulang.
Tak ada waktu khusus ngobrol hangat tentang problem anak atau masalah pendidikan anak. Buktinya, yang biasanya ambil raport dan datang ke sekolah hanya para ibu. Jarang sekali ayah berdiskusi dengan guru. (Baca juga: Inspirasi dari Rumah Tahfidz di Puger Yang Berkembang Pesat)
Kondisi seperti ini mengakibatkan anak-anak Indonesia menjadi ‘yatim’ secara pengasuhan. Masih punya ayah tapi sosoknya tidak eksis di keluarga. Tidak hadir dalam jiwa anak. Yang paling kita khawatirkan adalah ayah meninggalkan jejak keburukan yang akut dan kronis. Nauzubillah.
Menurut Elly Risman, di antara maraknya kasus anak-anak dan remaja salah satunya karena hilangnya figur ayah dalam rumahnya.
Padahal di dalam Al Quran, peneliti menemukan 17 dialog antara orangtua dengan anak. Terbanyak adalah interaksi ayah dengan anak, berada di 14 tempat. Sedangkan ibu dan anak hanya di dua tempat saja Al-Quran. (Baca juga: YDSF Distribusikan Paket Pendidikan Untuk Anak-anak di Lereng Semeru)
Di antara hikmahnya ialah semestinya para ayah harus lebih sering hadir di jiwa dan raga anak, baik hadir secara lisan, raga, amal shalih dan doa. Torehlah keteladanan. Insya Allah itu akan melekat kuat di hati anak. (Baca juga: Pemuda Bondowoso Merawat Ayah Tunanetra)
Ajaklah anak shalat berjamaah, atau saling menyimak bacaan Al-Quran, atau membahas konten medsos bersama. Agar ayah dan ibu bisa meluruskan jika ada isi media online yang menyimpang.
Ibarat imunisasi, maka keshalihan ayah (dan ibu) sebagai vaksin bagi anak. Membentenginya dari dari virus keburukan. Seperti wajah Yakub bagi Yusuf.
Ada ungkapan bijak, “Bisa jadi kita gagal mendidik anak-anak kita, namun mereka tak akan gagal meniru ayah ibunya.”
Foto: pixabay