Konsisten Dagang Tanpa Utang, Penjual Anyaman Di Jember

05-09-2022

Pak Tamin (53 tahun), demikian ia biasa disapa. Lelaki setengah baya, sosok bersahaja berasal dari Gumuk Gadung, Jambuan, Desa Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Jember. 
Setiap hari menuntun sepeda onthel lusuhnya menyusuri jalanan kampung dan pinggiran kota menjajakan aneka kebutuhan dari anyaman bambu.
 
Setelah subuh dibantu sang istri menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Pasar Tanjung ataupun keliling kampung. Berangkat pukul 5.00, kadang pukul 6.00. Biasanya pulang selepas Ashar kadang kadang hingga Maghrib, tergantung jauh atau dekat rute yang dilewatinya. (Baca juga: Pemuda Bondowoso Merawat Ayah Tunanetra)   

Ada Yang Kulak, Ada Yang Dibuat Sendiri


Barang-barang ini dia dapat dengan cara kulak kemudian dijual lagi. Sebagian barang dia buat sendiri. Dengan membeli bambu yang kemudan dipotong dan diproses sedemikian rupa sehingga didapatkan bilah bambu kering yang sudah siap dianyam. 

Tiap hari rute yang dilewati Pak Tamin berganti-ganti. Misalnya, satu hari rutenya Jalan Mastrip, Jalan Kalimantan, Jalan Bengawan Solo, Jalan Ahmad Yani, Jalan Gatot Subroto, Jalan Diponegoro  lalu Pasar Tanjung. 

Atau lain hari dari Antirogo, Jalan Jawa, Jalan Sumatra, Jalan Suprapto, Armed, Jalan Sutoyo, Jalan Sriwijaya, Jalan Karimata dan kembali ke Antirogo. Dan terkadang pula rutenya mengikuti jika ada yang memesan.  

Dengan mengayuh onthel tuanya, tak henti dia berharap kepada Allah agar hari itu dia bisa membawa pulang sejumlah uang hasil jualan agar sang istri bisa belanja untuk memasak dan makan hari ini. 

Penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi rezeki hari itu. “Karena rezeki tidak akan salah alamat,” begitu ucapnya. Sang istri pun ikut membantu proses pembuatan anyaman. Sambil menunggu suami pulang, istrinya membuat bilah bambu, membersihkan serta mengeringkan bambun untuk proses anyam.
 
Dalam sehari istri Pak Tamin bisa menyelesaikan 2 atau 3 bakul jika lancar. Terkadang sesuai pesanan. Ada yang kecil dan besar, harga juga menyesuaikan. Keduanya tidak pasang harga tinggi, terkadang Rp 10.000. Itu pun masih ada yang menawar. 

     Saat tim YDSF menyambangi kediamannya, Bu Tamin sedang menganyam, dan kami pun diajarinya untuk menganyam. Dengan cekatan dan telaten, ia mengajari kami. Untuk harga masing-masing barang. 

Untuk sapu lidi kecil Rp 5.000, sapu lidi besar Rp 10.000, tampah kecil Rp 15.000, yang besar antara Rp 20.000- 25.000, tompoh (tempat cuci beras) Rp 15.000-20.000. Untuk bakul nasi plus tutupnya Rp 25.000. 

Terkadang ada juga dari pembeli yang masih menawar dagangannya, tapi ada juga yang memberi uang lebih. Mereka mengaku dari hasil tersebut mereka dapat laba per barang antara Rp 2.000-5.000 rupiah saja. 

Mereka berprinsip sedikit laba asal berkah. Dalam sehari, setidaknya Pak Tamin membawa uang  hasil jualan kurang lebih antara Rp 20.000-30.000.  Biasanya penjualan ramai jika menjelang Hari Raya Qurban, Ramadhan, dan Idul Fitri. Sehari bisa Rp 100.000 ribu lebih (nilai bruto). Baginya itu sudah luar biasa. 

Mereka hanya tinggal berdua saja di rumah yang beralas tanah. Dinding kanan dan kiri rumahnya masih menumpang di tembok tetangga. Hingga usia pernikahan lebih 20 tahun, keduanya belum dikaruniai seorang anak. Meski begitu, gelak canda selalu menghiasi rumah berbilik bambu dan tripleks itu. Mereka menekuni pekerjaannya ini lebih kurang 15 tahun. (Baca juga: Kisah 15 Tahun Naik Turun Gunung Jual Kayu Bakar)



Tidak Mudah Tergiur Utang 


Ada keinginan dan harapan untuk mendapatkan tambahan modal usaha. Yaitu untuk menambah jenis anyaman agar pembeli punya pilihan lebih jenis anyaman yang diinginkan. Tapi Pak Tamin khawatir jika harus meminjam uang. 

Meskipun dalam kondisi demikian, mereka menjaga diri. Kalau bisa jangan sampai dari meminjam uang, apalagi dengan cara ribawi. Selama ini mereka membeli/kulakan bahan atau barang sedikit demi sedikit dengan uang hasil jualan tiap harinya. 

“Yang penting, jangan asal utang.” Demikian prinsipnya.  Memang terkadang ada saja yang memberi iming-iming untuk meminjamkan modal untuk Pak Tamin. Tapi dengan sopan ia tolak.  

Kauleh neka songkan mek nginjem obeeng, takok tak bisah abejer senekah,tak napah bereng sekonik, tapi asel berkah tak endhik aotang ‘Saya malu jika pinjam uang, takut tidak bisa membayar. Tidak apa-apa barang (dagangan) sedikit. Tapi hasil berkah dan tidak punya utang.’ Ucap sang istri. 

Mereka sangat bersyukur dengan semua hal yang Allah berikan, bagi mereka rezeki yang sedikit atau banyak tidak dinilai oleh jumlah. Tapi dinilai oleh seberapa banyak syukur kita kepada Allah. (Naskah: Okibintan & Foto: Figi)
###
Mari dukung pedagang kecil. Mungkin kecil bagi kita, namun bisa jadi itu sangat berarti bagi mereka. 
BSI No. Rek. 703.996.9992
Atas nama Yayasan Dana Sosial Al Falah

Konfirmasi Donasi
WhatsApp: 0811-350-3151