Komunitas agama, khususnya Islam, sangat akrab dengan pengumpulan massa (perkumpulan orang beramai-ramai). Misalnya kegiatan peringatan Isra' Mi'raj, kegiatan Maulid Nabi, ataupun istighasah, shalawatan dan ceramah keagamaan.
Apakah keramaian tersebut bagus? Tentu saja bagus, apabila niat yang hadir memang mencari keridhaan Allah Swt.
Namun bisa tidak bagus, jika ada yang hadir karena mencari suasana ramai, suasana megah, atau bahkan hanya sekadar ingin relasi atau malah ingin populer.
Terkadang, kita menjumpai orang yang hadir di saat acara besar dan ramai, namun tidak hadir dalam peribadatan shalat lima waktu berjamaah di masjid atau tidak hadir saat gotong royong bersih-bersih lingkungan.
Pertanyaannya, kalau Rasulullah saw ada saat ini, kira-kira beliau menjadi muslim yang bagaimana? Rajin ke masjidkah? Rajin bergotong-royongkah? Suka keramaian kah? Suka kemegahankah? (Baca juga: Niat Memajukan Kampung Muncar Banyuwangi Hampir Terkabul)
Berbagai riwayat dan literatur menampakkan, bahwa beliau adalah orang yang mencari keridhaan Allah semata. Beliau tampil dalam kepribadian beliau yang sederhana, suka shalat, dan suka membantu sesama.
Misalnya suatu saat Nabi dan para sahabat dalam sebuah perjalanan lalu istirahat berkemah. Para sahabat membagi tugas.
Ada yang berkata, “Aku akan pergi dan menyembelih anak domba.” Ada pula, “Aku akan memasak.” Ada yang mempersiapkan kemah, dll.
Tugas hampir terbagi semua. Tiba-tiba Nabi berkata, “Aku akan mencari kayu bakar.”
Para sahabat berkata dengan satu suara. “Anda tak perlu demikian. Biarkan kami melakukannya untuk Anda.”
Tapi Nabi menjawab, “Aku tahu kalian semua akan melakukannya untukku, tapi tidak baik bagiku untuk duduk diam saat bekerja. Aku adalah sahabat kalian. Aku harus bekerja sama seperti kalian. Allah tidak suka pada siapapun yang hanya menikmati keuntungan dari rekan-rekannya.”
Maka Nabi pun pergi untuk mengumpulkan kayu bakar. Kita bisa memastikan Rasulullah saw. bukanlah seorang yang gemar mencari perhatian, ataupun ingin populer.
Beliau adalah pribadi sederhana, dengan kehidupan sederhana dan memiliki impian yang sederhana, yaitu seluruh umat Islam diridhai Allah Swt.
Pertanyaan berikutnya, kira-kira kegiatan seperti apa yang Allah ridhai? Shalat berjamaahkah? Gotong royongkah?, Perkumpulan massakah? Kegiatan akbar/masif kah?
Kalau kita melihat teks Al-Qur’an maupun hadits, tampak jelas bahwa ridha Allah itu ada pada pelaksanaan Islam kaffah: shalat, zikir, syariat, akhlak mulia, rendah hati, taat aturan, sabar, menolong orang lain, bersyukur, dan seterusnya.
Tidak disebutkan bahwa ridha Allah ada pada tempat yang lebih ramai, dan tidak pula disebutkan ada pada tempat yang lebih sepi.
Dengan perkataan lain, ukuran turunnya rahmat bukanlah ramai atau sepinya, tapi seberapa Kaffah Islam itu dikerjakan dan seberapa tulus mencari ridha Allah Swt.
Dengan informasi di atas ini, bisa dilihat, bahwa sebenarnya menjadi orang Islam yang diridhai Allah itu sederhana sekali, tidak perlu biaya mahal dan tidak perlu simbol yang banyak. Cukup dua modal: tulus dan Islam Kaffah.
Ajaibnya, ketika ada sekelompok orang yang tulus ber-Islam Kaffah, Tuhan justru memberi karunia berupa keramaian, keberlimpahan dan kejayaan kepada sekelompok orang tadi, selama mereka istiqamah. (Baca juga: Kisah Guru di Jember | Mengantar Siswa Mandi di Kali)
Oleh karenanya, perjuangkan saja ketulusan dan Islam Kaffah, dengan izinNya, menurut rumusnya. Pasti keberlimpahan, keramaian dan kejayaan itu terjadi.
Jangan dibalik. Jangan memperjuangkan keramaian, kejayaan, atau keberlimpahan. Itu justru menjauhkan kita dari hal-hal tersebut.
Bahkan, bagi yang tampaknya sudah jaya dan berlimpah sekalipun, ketulusan dan Islam kaffah, tetap merupakan perjuangan.
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat kejayaan” (QS. Ali Imran 200).
Kesimpulannya, lebih bagus ramai atau sepi? Yang bagus adalah keramaian dan kesepian yang diridhai Allah Swt dan meniru Rasulullah saw.
Yang tidak bagus adalah keramaian dan kesepian yang tidak diridhai Allah Swt dan tidak meniru Rasulullah saw. [oleh Suryono, KMPZis Al Falah Jember]
Baca juga: Pemuda Bondowoso Merawat Ayah Tunanetra